INFEKSI ENDOPARASIT PADA BABI BETINA INDUK

                           INFEKSI ENDOPARASIT PADA BABI BETINA INDUK  
Lutvi Aditya Pratama
185130100111033
D - 2018
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya
email: @lutviadityapratamagmail.com



ABSTRAK
Babi di Bali memiliki nilai yang lebih dari sekedar sebagai sumber protein. Babi memiliki peran penting dalam penyelenggaraan upacara agama dan upacara adat. Dalam setiap kegiatan adat di Bali pasti menyediakan lawar,urutan,balung dan daging goreng yang semuanya merupakan olahan daging babi. Babi juga biasanya diolah menjadi babi guling  sebagai persembahan dalam upacara agama (Agustina 2013). Oleh karena itu, populasi babi di Bali semakin bertambah seiring meningkatnya populasi manusia di Bali. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2015, Bali menduduki urutan kedua dengan populasi babi tertinggi di Indonesia setelah Nusa Tenggara Timur. Populasi babi di Bali tercatat sebanyak 925 290 ekor pada tahun 2015. Bali sendiri memiliki 4 kabupaten dengan populasi babi terbanyak,salah satunya adalah Kabupaten Tabanan dengan populasi babi sebanyak 91 770 ekor pada tahun 2013 (Badan Pusat Statistik 2013).  Babi sangat rentan menderita penyakit infeksi endoparasit. Infeksi endoparasit pada babi akan berdampak pada performa dan kesehatan babi. Beberapa babi yang terinfeksi endoparasit tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi akan menurunkan efisiensi pakan dan produktivitas babi tersebut. Menurut Suratma (2009) dalam penelitiannya di Kota Denpasar, ditemukan jenis cacing Trichuris suis dengan prevalensi 52.70% pada kandang tanah dan 26.11% pada kandang semen. Fendriyanto et al. (2015) melaporkan bahwa prevalensi infeksi cacing nematoda saluran pencernaan pada anak babi yang dijual di pasar tradisional adalah 71.60%. Identifikasi parasit dibuktikan ada empat jenis cacing nematoda pada saluran pencernaan yaitu, Ascaris suum, Trichuris suis, cacing tipe Strongyle dan Macrachantorynchus dengan prevalensi masing-masing 3.20%, 14.00%, 57.60 % dan 2.00%. Agustina (2013) dalam penelitiannya mengatakan bahwa prevalensi cacing tipe Strongyle pada babi dewasa di Bali adalah 69.85%.  

Berdasarkan taksonomi babi dapat dikelasifikasikan sebagai berikut : Kingdom  : Animalia Phylum  : Chordata Kelas  : Mammalia Ordo  : Artiodactyla Famili   : Suidae Genus   : Sus Spesies   : Sus sp. Terdapat tujuh spesies babi yang tersebar diseluruh dunia. Tujuh spesies dari babi tersebut adalah  Sus scrofa,  Sus verrucosus, Sus barbatus, Sus celebenis, Sus philippensis, Sus cebifrons dan Sus salvanius (Komala 2015; Rothschild dan Ruvinsky 2011). Babi merupakan ternak dengan sistem pencernaan monogastrik dan digolongkan dalam hewan  omnivora (pemakan segala). Oleh karena itu, ternak babi efisien dalam mengkonversi berbagai sisa pertanian dan sisa makanan menjadi daging. Selain itu, babi bersifat prolific (banyak anak tiap kelahiran), pertumbuhannya cepat dan dalam umur enam bulan sudah dapat dipasarkan. Induk babi akan mengandung selama 115 hari dan menyusui anak-anaknya selama 28 hari. Setelah 4 minggu, babi akan memasuki fase babi muda. Babi muda akan diberi konsentrat yang cukup serta dilakukan kastrasi agar beratnya bertambah. Setelah 16 minggu, babi akan memasuki fase dewasa (Wheindrata 2013).


Ascaris suum


Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Ascaris suum. Cacing ini termasuk jenis cacing gilig yang sangat patogen pada ternak babi dan sebagian besar hidup dari cacing ini berada di dalam usus halus inang definitifnya. Cacing Ascaris suum memiliki bentuk bulat panjang, berkutikula serta memiliki 3 bibir pada ujung anterior kepala dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel di pinggirnya (Niasono 2002). Cacing jantan memiliki panjang 15 sampai 25 cm dan diameter 2 sampai 4 mm. Cacing jantan mempunyai 2 buah spikulum yang dapat keluar dari kloaka. Cacing betina memiliki panjang 20 sampai 40 cm dan diameter 4 sampai 6 mm. Cacing betina memiliki vulva pada sepertiga anterior panjang tubuh dan ovarium yang luas yang dapat menghasilkan 200 000 sampai 1 000 000 butir telur per hari. Uterusnya dapat berisi sampai 27 juta telur pada satu waktu (Johnstone 2000; Ballweber 2016).  

 



Gambar 1  Siklus hidup cacing Ascaris suum (Johnstone 2000)

 Cacing Ascaris suum memiliki siklus hidup preparasitik dan parasitik. Siklus preparasitik dimulai saat telur yang dihasilkan cacing betina keluar dari tubuh inang bersamaan dengan tinja dari inang ke lingkungan (A). Embrio dalam telur berkembang menjadi L1 (B) kemudian menjadi L2. Tahap infektif Ascaris suum adalah telur yang mengandung L2 (C). Telur infektif dapat tertelan secara tidak sengaja oleh cacing tanah. Telur yang tertelan akan menetas dan L2 akan bermigrasi dan menetap dalam tubuh cacing tanah, sehingga cacing tanah dapat menjadi host paratenik. Siklus parasitik dimulai ketika babi tidak sengaja memakan telur infektif atau host paratenik (E). Telur yang tertelan kemudian menetas di usus halus (F), L2 akan masuk ke dinding usus, masuk ke sistem portal hepatik dan munuju ke hati (G) dalam waktu 24 jam setelah infeksi. L2 akan berkembang menjadi L3 di organ hati. L3 selanjutnya bermigrasi dari hati ke paru-paru melalui sistem vena, jantung kanan dan arteri pulmonalis, mencapai paru-paru (H) 4 sampai 6 hari setelah infeksi. L3 keluar dari kapiler alveolar dan bermigrasi ke pohon bronkus ke faring (I). Dari faring L3 akan tertelan kembali menuju ke usus halus dan mencapai fase dewasa dalam usus halus 3 sampai 4 minggu setelah infeksi. Cacing betina gravid mulai bertelur sekitar 6 sampai 8 minggu setelah terinfeksi (Johnstone 2000).  Larva yang bermigrasi dalam tubuh inang definitif dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh terutama bila terjadi infeksi berat.  Kerusakan terjadi pada paru-paru ditandai dengan adanya kerusakan pada alveoli, perdarahan (hemorragi), oedema dan infiltrasi sel radang yang bersifat lokal. Kondisi ini juga dapat menimbulkan gejala berupa batuk yang asmatik, thumps dan emfisema (Sianturi 2004). Migrasi larva melalui hati menyebabkan pendarahan, fibrosis, dan akumulasi limfosit yang dilihat sebagai bintik putih disebut "milk spot". Pada babi yang resisten, hanya beberapa larva yang mencapai hati dan jumlah “milkspot” akan rendah, meski terus-menerus terjadi infeksi ulang (Ballweber 2016).  Cacing Ascaris suum dalam usus dapat menyebabkan enteritis kataralis. Bila terdapat dalam jumlah banyak dapat menyebabkan obstruksi usus, muntah dan kematian. Selain itu, obstruksi juga dapat terjadi di saluran empedu yang akan menyebabkan jaundice (Tarigan 2004; Komala 2015).  
 


Gambar 2  “Milk spot” pada hati babi ( NADIS 2016)


Trichuris suis


Trichuriasis adalah penyakit yang disebabkan Trichuris suis. Cacing dewasa menyerupai cambuk sehingga disebut sebagai cacing cambuk. Pada umumnya cacing ini ditemukan di mukosa sekum dan kolon (Dewi dan Nugraha 2007). Morfologi cacing ini terdiri dari bagian anterior tiga perlima dari panjang badan yang merupakan tabung kapiler dengan esofagus. Bagian posterior dua perlima dari panjang badan yang lebih berotot dan terdapat usus serta organ kelamin. Cacing jantan memiliki ujung kaudal yang menggulung kearah ventral dan berukuran panjang 30 sampai 45 mm dengan diameter 0.60 mm. Spikulum tunggal menonjol melalui selubung yang dapat ditarik dengan ujung membentuk pentolan. Cacing betina memiliki ukuran panjang 35 sampai 50 mm dengan diameter 0.70 mm, vulva terletak dibagian tubuh arterior yang berotot (Niasono 2002; Sianturi 2004).

 

Gambar 3 Cacing Trichuris suis dewasa (RUMA 2010)

 Cacing Trichuris suis memiliki siklus hidup yang sederhana. Siklus hidup cacing ini dimulai dari tertelannya telur infektif oleh babi. Telur infektif kemudian menetas dan berkembang memasuki stadium L2 didalam usus, larva kemudian bermigrasi menuju sekum. Larva akan tinggal di kelenjar Lieberkuhn selama 3 sampai 10 hari, kemudian ke lumen sekum dan menjadi dewasa dalam waktu 3 bulan sesudah infeksi. Cacing betina dewasa menghasilkan sekitar 20 000 butir telur sehari dan dapat hidup selama tiga tahun. Cacing dewasa mengambil
5

darah melalui sistem kapiler dengan cara memasukkan sebagian besar bagian anterior tubuhnya kedalam mukosa sekum inangnya (Tarigan 2004; Elliot 2015).  Trichuriasis dapat terjadi tanpa adanya gejala klinis bila terjadi infeksi ringan. Infeksi berat dapat menimbulkan inflamasi yang disertai oedema dari dinding saluran pencernaan. Babi yang terinfeksi cacing Trichuris suis  cenderung terlihat anemia karena cacing menghisap darah untuk mendapatkan nutrisi dari tubuh inangnya. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan akibat infeksi cacing ini adalah diare, anoreksia, enteritis, kehilangan berat badan, keadaan rambut yang kusam, serta infeksi sekunder oleh bakteri (Sianturi 2004). Diare akan terlihat setelah 21 hari terinfeksi. Pada kasus yang berat dapat menyebabkan kematian (Tarigan 2004).


Eimeria sp.


Koksidiosis adalah suatu penyakit infeksius yang disebabkan oleh Eimeria sp. Penyakit ini umum terjadi pada babi, babi muda yang belum sapih umumnya lebih rentan terhadap penyakit koksidiosis karena daya tahannya lebih lemah dibandingkan dengan babi dewasa. Jenis Eimeria yang  ditemukan pada babi adalah E. cerdonis, E. neodebliecki dan E. porci, yang ditemukan pada tinja babi di Amerika Utara dan India. E. spinosa ditemukan pada babi yang didomestikasi di Amerika dan negara bekas bagian Uni Soviet. E. debliecki, E. scraba dan E. perminuta ditemukan pada babi di seluruh dunia. Di Indonesia koksidiosis disebabkan oleh E. suis, E. debliecki, E. neodebliecki, E. porci, E. perminuta dan E. polita (Komala 2015).
 

Gambar 4 Siklus hidup Eimeria sp. (Doviansyah 2015)

Perkembangan siklus hidup Eimeria terjadi di dalam dan di luar tubuh induk semangnya. Ada 3 stadium siklus hidup pada Eimeria yaitu stadium skizogoni, gametogoni dan sporogoni. Stadium skizogoni dan sporogoni termasuk dalam siklus aseksual, sedangkan gametogoni termasuk seksual. Ookista yang dikeluarkan bersama tinja inang yang terinfeksi akan bersporulasi (infektif) pada kondisi kelembapan dan suhu yang optimal (25   sampai 29  ) serta oksigen yang cukup. Ookista Eimeria akan bersporulasi dalam waktu 24 sampai 48 jam.
6

Ookista yang telah bersporulasi memiliki 4 buah sporokista dengan masingmasing di dalamnya 2 sporozoit (Firmansyah 2016).  Siklus hidup Eimeria sp. berawal dari tertelannya ookista yang sudah bersporulasi oleh babi. Setelah 3 hari akan membentuk skizon di jejunum. Skizon generasi kedua akan matang dalam waktu 5 hari dan skizon generasi ketiga akan matang dalam waktu 7 hari setelah infeksi di ileum. Skizon generasi kedua akan menghasilkan 14 sampai 22 merozoit. Sedangkan skizon generasi ketiga akan menghasilkan 14 sampai 28 merozoit. Pada hari kedelapan setelah infeksi akan terbentuk 2 jenis kelamin. Pada hari kesembilan setelah infeksi akan terbentuk mikrogamet dan makrogamet. Makrogamet tersebut akan difertilisasi oleh mikrogamet dan membentuk zigot yang berkembang menjadi ookista. Ookista keluar dari sekum atau usus kecil dan keluar bersama tinja (Dewi dan Nugraha 2007).  Koksidiosis pada anak babi yang belum sapih dapat menyebabkan diare sejak babi berusia 3 hari. Tinja encer, berwarna kuning keabu-abuan dan bertahan 4 sampai 7 hari. Diare dapat mengakibatkan kematian setelah 7 hari tidak mendapatkan penanganan.  Gejala lainnya yaitu penurunan berat badan, demam dan dalam kasus infeksi yang parah dapat menyebabkan dehidrasi dengan kemungkinan kematian 10% hingga 50%. Hewan yang telah terinfeksi berulangulang tidak akan menunjukan gejala klinis tetapi akan mampu menularkan ke hewan lain dan mencemari lingkungan (Agustina et al. 2016).



METODE PENELITIAN



Waktu dan Tempat


 Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2016 sampai Januari 2017. Pengambilan  sampel tinja di lakukan di peternakan babi di Kabupaten Tabanan Bali. Analisis tinja dilakukan di laboratorium Helmintologi Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.


Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantong plastik, spidol permanen, label nama, styrofoam box, object glass, cover glass, mikroskop cahaya binokuler, gelas ukur, pipet pasteur, kamar hitung McMaster, tabung reaksi, centrifuge, gelas plastik, batang pengaduk dan timbangan digital. Bahan yang diperlukan adalah tinja babi segar, ice pack, formalin 3.00%, aquades dan  larutan pengapung.

7

Koleksi Sampel


Sampel tinja diambil dengan metode purposive sampling. Sampel diambil dari 3 peternakan di Kabupaten Tabanan yang memiliki populasi lebih dari 60 ekor. Ukuran sampel diperoleh dengan menggunakan rumus n=4PQ/L2. Prevalensi dugaan yang digunakan adalah 69.85% dan nilai error 8.00% sehingga diperoleh ukuran sampel minimal adalah 132 sampel.  Jumlah sampel tinja yang diambil adalah 150 sampel. Sampel tinja yang diambil adalah sampel segar yang baru didefekasikan tidak lebih dari dua jam. Sampel tersebut dimasukan ke dalam kantong plastik dan diberi label kemudian selama perjalanan disimpan dalam styrofoam box yang berisi ice pack. Selanjutnya sampel disimpan dalam lemari pendingin sampai dilakukan pemeriksaan.


Pemeriksaan Kualitatif


Sebanyak 4 g sampel dicampurkan dengan 56 ml air dalam gelas plastik, lalu diaduk hingga homogen. Larutan diambil sebanyak 10 ml dengan menggunakan syringe dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Supernatan dibuang dan endapan ditetesi dengan formalin 3% lalu disimpan dalam lemari pendingin (4ºC).  Endapan yang akan diperiksa ditambahkan 6 ml larutan pengapung dan dihomogenkan. Setelah homogen, ditambahkan larutan pengapung kembali hingga suspensi tinja bentuk meniskus cembung pada bagian permukaannya. Tabung reaksi kemudian ditutup dengan cover glass dan dibiarkan selama 20 menit.  Cover glass kemudian diangkat perlahan dari tabung reaksi dan diletakkan  pada gelas objek. Preparat lalu diamati dengan mikroskop cahaya binokuler (Zajac dan Conboy 2012).


Pemeriksaan Kuantitatif


Pemeriksaan secara kuantitatif dilakukan dengan metode McMaster yang dimodifikasi. Pemeriksaan kuantitatif dilakukan untuk menghitung derajat infeksi endoparasit melalui perhitungan telur tiap gram tinja (TTGT) atau ookista tiap gram tinja (OTGT). Penghitungan TTGT atau OTGT dihitung dengan menggunakan rumus :                         
 Keterangan: n   : Jumlah telur cacing atau ookista dalam kamar hitung Bt : Berat tinja (gram) Vt : Volume total sampel (ml) Vk : Volume kamar hitung (ml)
8

Sebanyak 4 g sampel dicampurkan dengan 56 ml air di dalam gelas dan diaduk sampai homogen. Campuran tersebut diambil menggunakan syringe sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan  2500 rpm. Supernatan dibuang dan endapan ditetesi dengan formalin 3% lalu disimpan dalam lemari pendingin (4 ºC) sampai dilakukan pemeriksaan. Endapan yang akan diperiksa ditambahkan 6 ml larutan pengapung dan dihomogenkan. Filtrat diambil dengan pipet kemudian diisikan ke dalam kedua sisi kamar hitung McMaster hingga penuh dan dibiarkan selama 5 menit. Pemeriksaan filtrat dilakukan dengan menggunakan mikroskop.


Analisis Data


Analisis data yang digunakan adalah analisa deskriptif untuk menggambarkan derajat infeksi dan prevalensi kecacingan pada babi betina induk di Kabupaten Tabanan.  



HASIL DAN PEMBAHASAN



Pemeriksaan laboratorik terhadap 150 sampel tinja babi betina induk yang diambil dari peternakan di Kabupaten Tabanan, didapatkan bahwa terjadi dua kelompok infeksi yaitu kelompok infeksi tunggal dan kelompok infeksi campuran. Infeksi tunggal yang ditemukan adalah 6.00% terinfeksi Ascaris suum, 2.67% terinfeksi Trichuris suis dan 50.67% terinfeksi Eimeria sp. Babi yang mengalami infeksi campuran, 2.00% terinfeksi Ascaris suum dan Eimeria sp. sedangkan 1.30% terinfeksi Trichuris suis dan Eimeria sp.  Lapisan luar telur cacing tipe ascarid terdiri dari lapisan protein dan lapisan vitelin yang nampak bergelombang pada bagian luarnya, memiliki bentuk bulat hingga oval dan warna kecoklatan. Telur tipe ascarid yang ditemukan adalah telur fertile dan telur infertile. Telur fertile yang ditemukan dalam bentuk utuh dan bentuk yang telah kehilangan lapisan proteinnya sehingga bagian luar telur tidak nampak bergelombang. Telur tipe trichurid yang ditemukan berwarna kuning kecokelatan dan memiliki dinding vitelin yang nampak jelas. Bagian ujung telur memiliki polar plug yang berbentuk bulat menyerupai sumbat transparan. Ookista Eimeria sp. yang ditemukan memiliki bentuk bulat sampai oval dengan dinding yang halus dan tipis.  Hasil dari pemeriksaan sampel tinja dengan menggunakan metode McMaster yang dimodifikasi menunjukkan bahwa nilai rataan jumlah telur tiap gram tinja dari Ascaris suum adalah 100 TTGT dengan kisaran jumlah telur terendah 50 dan tertinggi 6850 TTGT. Nilai rataan telur tiap gram tinja dari Trichuris suis
 
Tabel 2 Prevalensi infeksi endoparasit pada babi betina induk di Kabupaten Tabanan


Menurut Komala (2015) ada 4 macam telur Ascaris suum yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan tinja, yaitu telur fertile (telur yang dibuahi), telur infertile (telur yang tidak dibuahi), telur decorticated (telur yang sudah dibuahi tetapi telah kehilangan lapisan albuminnya), dan telur infektif (telur yang

mengandung larva). Telur yang dibuahi dihasilkan oleh cacing betina setelah berkopulasi dan jumlahnya sekitar 200 000 butir per hari. Dalam penelitian ini hanya ditemukan 3 macam telur Ascaris suum yaitu telur fertile,infertile dan decorticated, sedangkan telur infektif dengan larva tidak ditemukan dalam pemeriksaan sampel. Ukuran telur dan bentuk telur Ascaris suum yang ditemukan sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa ukuran telur yang dibuahi berbentuk sedikit oval dengan panjang 50.00 hingga 70.00 μm dan lebar 40.00 hingga 50.00 μm. Telur yang tidak dibuahi lebih bervariasi dalam bentuk dan ukuran, dengan panjang 60.00 hingga 100.00 μm dan lebar 40.00 hingga 60.00 μm (Inriani 2015). Telur Ascaris suum yang fertile memiliki  kulit telur yang tidak berwarna. Bagian  luar kulit telur dilapisi dengan lapisan protein atau albuminoid yang permukaannya berdungkul-dungkul (mamilation) dan tebal sehingga permukaan telur nampak tidak rata. Lapisan ini berfungsi sebagai lapisan penyokong  yang kuat dan penambah rintangan dalam permeabilitasnya. Lapisan albuminoid ini juga dapat menyerap zat warna empedu sehingga telur yang ditemukan dalam pengamatan berwarna cokelat. Bagian dalam kulit telur dilapisi dengan lapisan vitelin tipis yang kuat berfungsi memberi bentuk telur. Lapisan kulit pada telur infertile lebih tipis, tidak beraturan bentuk dan ukurannya dibandingkan dengan telur fertile. (Koesdarto et al. 2011; Syahid 2009).   Telur Trichuris suis yang ditemukan dalam penelitian ini memiliki dinding yang tebal dan bentuk oval menyerupai tempayan (Syahid 2009). Inriani (2015) menyebutkan bahwa telur Trichuris suis memiliki polar plug yang terdapat di kedua kutubnya, yaitu semacam penutup yang jernih dan menonjol seperti sumbat. Bagian dalam telur berwarna jernih dan bagian luarnya berwarna kuning kecokelatan. Telur Trichuris suis biasanya memiliki ukuran panjang 57.90 hingga 61.10 µm dan lebar 26.20 hingga 27.10 µm (Koesdarto 2009; Komala 2015).  Infeksi Eimeria sp. pada babi dapat menyebabkan penyakit koksidiosis. Komala (2015) dalam penelitiannya menemukan 6 spesies Eimeria sp. yang menginfeksi babi di RPH Kapuk Jakarta Barat yaitu E. suis, E. debliecki, E. neodebliecki, E. porci, E. perminuta dan E. polita. Ukuran kista yang tercantum dalam Tabel 1. sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa ukuran Eimeria sp. biasanya berkisar antara 12.00 sampai 25.00 µm (Foreyt 2001). Bentuk ookista yang paling umum adalah bulat, bulat telur (ovoid) dan oval. Ookista memiliki dinding transparan berfungsi melindungi kelangsungan hidup ookista di alam. Beberapa spesies memiliki pori kecil yang terbuka di salah satu ujung ookista yang disebut mikrofil (topi). Ookista dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu ookista belum bersporulasi dan ookista sudah bersporulasi. Ookista belum besporulasi memiliki sel tunggal yang disebut sporon. Sedangkan ookista yang sudah bersporulasi memiliki empat sporokista, masing-masing berisi dua sporozoit (Doviansyah 2015). Tamboura et al. (2006) melaporkan bahwa babi dapat terinfeksi endoparasit tunggal dan campuran hingga 4 jenis parasit berbeda. Infeksi tunggal pada babi dalam penelitian ini diakibatkan oleh cacing Ascaris suum, Trichuris suis dan protozoa Eimeria sp. Matsubayashi et al. (2009) melaporkan prevalensi penyakit infeksi cacing Ascaris suum di Jepang 14.70%, sedangkan Komala (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa prevalensi penyakit infeksi cacing Ascaris suum pada babi di RPH Kapuk Jakarta Barat 3.80% dan prevalensi dalam penelitian dari Inriani (2015) yang dilakukan di Makasar adalah 36.00%.
11

Jika dibandingkan, prevalensi dalam penelitian ini menunjukkan perbedaan yang signifikan. Prevalensi pada penelitian ini lebih tinggi dari prevalensi di RPH Kapuk Jakarta barat dan lebih rendah dari prevalensi yang ada di Jepang dan Makasar. Prevalensi Trichuris suis pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Fendriyanto et al. (2015) yang menunjukkan prevalensi 14.00% pada anak babi di Bali sedangkan Suratma (2009) menyebutkan prevalensi Trichuris suis pada babi muda di Kota Denpasar 52.70% dengan lantai kandang tanah dan 26.11% dengan lantai kandang semen. Prevalensi dalam penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Ferdiyanto et al. (2015) dan Suratma (2009).  Prevalensi Eimeria sp. dalam penelitian ini 50.67% lebih rendah dibandingkan dengan penelitian pada anak babi di Bali yaitu 54.80% (Agustina et al. 2016). Prevalensi dalam penelitian ini juga lebih rendah dari prevalensi pada penelitian di Pegunungan Arfak 83.30% (Yuliari et al. 2013). Kurniawan (2014) melaporkan prevalensi Eimeria sp. pada babi CV. Adhi Farm Solo adalah 90.00%.   Infeksi campuran yang terjadi pada penelitian ini merupakan kombinasi antara infeksi cacing dan protozoa. Infeksi campuran cacing dan protozoa pernah dilaporkan oleh Komala (2015) dengan prevalensi infeksi 4.90% babi yang terinfeksi Ascaris suum kombinasi Eimeria dan 15.50% babi yang terinfeksi Trichuris suis kombinasi Eimeria. Prevalensi infeksi campuran Ascaris suum dan Eimeria sp. cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi infeksi campuran Trichuris suis dan Eimeria sp. dalam penelitian ini, hal ini bisa disebabkan karena morfologi telur Ascaris suum yang lebih kuat sehingga lebih tahan di lingkungan dibandingkan dengan telur Trichuris suis. Komala (2015) dalam penelitiannya mengelompokkan derajat infeksi endoparasit berdasarkan hasil perhitungan TTGT atau OTGT menjadi tiga kelompok yaitu infeksi rendah (≤500 TTGT atau OTGT), infeksi sedang (501 sampai 5000 TTGT atau OTGT) dan infeksi berat ( ≥5000 TTGT atau OTGT). Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa derajat infeksi dari Ascaris suum, Trichuris suis dan Eimeria sp. termasuk dalam kategori infeksi rendah karena jumlah rata-rata telur yang ditemukan <500 TTGT atau OTGT. Niasono (2002) melaporkan rataan TTGT untuk Ascaris suum dan Trichuris suis di lingkungan peternakan kampus IPB Dramaga adalah 2525 TTGT dan 165 TTGT. Komala (2015) melaporkan bahwa rataan OTGT Eimeria sp. adalah 7048 OTGT. Kejadian infeksi suatu penyakit dipengaruhi oleh tiga hal yaitu agen, host dan lingkungan. Agen adalah benda hidup atau benda mati dan vektor mekanis yang dapat menyebabkan kejadian suatu penyakit seperti virus, bakteri, parasit, racun dan lainnya. Host adalah faktor pendukung kejadian suatu penyakit yang ada dalam makhluk hidup yang terserang penyakit seperti ras, umur, jenis kelamin, imunitas dan lainnya. Lingkungan adalah semua hal diluar host yang dapat mendukung kejadian suatu penyakit seperti manajemen peternakan, sanitasi, dan iklim. Ketiga hal tersebut dapat menimbulkan perbedaan tingkat kejadian suatu penyakit. Dalam penelitian ini agen infeksi endoparasit berasal dari cacing (Ascaris suum dan Trichuris suis) dan protozoa (Eimeria sp.). Parasit tersebut merupakan parasit yang umum ditemukan dan menyebabkan penyakit pada babi. Seekor babi akan terinfeksi cacing bila tidak sengaja menelan telur atau larva infektif. Cacing
12

Ascaris suum banyak ditemui di usus halus (Inriani 2015),sedangkan Trichuris suis  berada di bagian sekum dan kolon (Ferdiyanto 2015). Penularan Eimeria sp. terjadi karena tertelannya ookista yang telah bersporulasi oleh ternak babi. Koksidiosis pada babi tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas bila terjadi infeksi yang ringan, namun dapat menyebabkan diare bila infeksi berat. Diare menyebabkan feses encer berwarna kekuningan hingga keabu-abuan dan dapat bertahan 4 hingga 7 hari (Agustina et al. 2016). Inang dalam penelitian ini adalah babi betina induk. Agen endoparasit dapat menginfeksi babi secara umum tetapi perbedaan umur dan jenis kelamin dapat menimbulkan perbedaan prevalensi penyakit. Tarigan (2004) mengatakan prevalensi penyakit kecacingan Trichuris suis lebih besar pada usia muda (≤ 6 bulan) dibandingkan babi dewasa (≥12 bulan). Babi muda pada umumnya juga lebih rentan terhadap infeksi protozoa dibandingkan dengan babi dewasa. Hal ini disebabkan karena babi muda memiliki daya tahan yang lebih lemah daripada babi dewasa. Pernyataan tersebut sesuai dengan prevalensi dalam penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ferdiyanto et al. (2015) dan Suratma (2009). Babi betina induk yang digunakan dalam penelitian ini berusia lebih dari satu tahun sehingga memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap infeksi endoparasit. Hal ketiga yang mempengaruhi infeksi endoparasit adalah lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah segala kondisi yang ada diluar tubuh inang mulai dari sanitasi kandang, iklim hingga manajemen peternakan. Jenis lantai kandang dapat mempengaruhi prevalensi infeksi endoparasit pada babi. Dalam penelitian ini, babi betina induk dipelihara pada kandang dengan lantai semen sehingga prevalensi kecacingannya rendah. Suratma (2009) mengatakan bahwa babi yang dipelihara pada kandang semen memiliki prevalensi penyakit endoparasit yang lebih rendah daripada babi yang dipelihara pada kandang tanah. Iklim dengan kelembaban yang tinggi akan meningkatkan resiko babi terinfeksi endoparasit (Yuliari et al. 2013). Telur Ascaris suum mampu bertahan di lingkungan dengan kondisi iklim dingin dengan kelembaban tinggi hingga 10 tahun, namun tidak dapat bertahan pada kondisi kering dan panas (Niasono 2002).  Manajemen kesehatan dengan pemberian anthelmintika dan koksidiostat pada babi dapat mengurangi resiko babi terinfeksi kecacingan dan koksidiosis. Pada penelitian ini prevalensi penyakit kecacingan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi penyakit infeksi Eimeria sp. Pada saat dilakukan wawancara, peternak mengatakan hanya memberikan sediaan anthelmintika pada babi dan tidak memberikan koksidiostat sehingga prevalensi kecacingan lebih rendah dibandingkan prevalensi infeksi protozoa. Anthelmintika yang dapat diberikan untuk menangani infeksi Ascaris suum dan Trichuris suis adalah benzimidazoles, dichlorvos, doramectin, fenbendazol, hygromycin B, ivermectin, atau piperazine (Foreyt 2001; Inriani 2015). Pemberian ivermectin 1% dan doramectin dengan dosis standar 300 µg/KgBB atau 0.03 ml/KgBB melalui penyuntikan subkutan atau intramuskular efektif untuk membunuh L4 sampai cacing dewasa Ascaris suum. Ivermectin yang disuntikkan akan bertahan dalam tubuh selama 2 minggu dan doramectin bertahan hingga 4 minggu. Pemberian peroral juga dapat diberikan dalam campuran pakan dengan dosis 100 µg/KgBB/hari selama 7 hari. Pemberian fenbendazole 4% dengan dosis total 5mg/KgBB pada babi induk dibagi dalam 14 kali pemberian dalam pakan.


Fenbendazole efektif untuk membunuh telur, larva dan cacing dewasa nematoda termasuk Trichuris suis (RUMA 2010). Pemberian decoquinate sebelum dan sesudah beranak serta pemberian sulfamethazine yang dicampurkan dengan pakan dapat digunakan untuk mengobati dan mencegah koksidiosis pada babi (Foreyt 2001).  Menjaga sanitasi kandang agar kandang tetap bersih dan kering serta memastikan pakan dan air minum tidak terkontaminasi telur infektif dan kista merupakan tindakan pencegahan yang dapat dilakukan. Pada Tabel 2. tertera  bahwa prevalensi infeksi Ascaris suum lebih tinggi dibandingkan dengan Trichuris suis. Hal ini disebabkan karena telur Ascaris suum memiliki lapisan albuminoid dan lapisan vitelin yang tahan terhadap beberapa desinfektan. Cara pembersihan kandang yang tepat untuk menghancurkan telur Ascaris suum adalah dengan melakukan penyemprotan kandang menggunakan air panas dengan suhu diatas 60 ºC dan bertekanan tinggi (Niasono 2002).



SIMPULAN DAN SARAN



Simpulan


 Infeksi endoparasit pada babi betina induk di Kabupaten Tabanan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok infeksi tunggal dan kelompok infeksi campuran. Infeksi tunggal pada babi betina induk di Kabupaten Tabanan disebabkan oleh cacing Ascaris suum, Trichuris suis dan protozoa Eimeria sp. Prevalensi dari masing-masing infeksi berturut-turut adalah 6.00%, 2.67% dan 50.67%. Babi yang mengalami infeksi campuran, 2.00% terinfeksi Ascaris suum dan Eimeria sp. sedangkan 1.30% terinfeksi Trichuris suis dan Eimeria sp. Secara umum prevalensi penyakit kecacingan pada penelitian ini lebih rendah daripada prevalensi infeksi protozoa. Derajat infeksi Ascaris suum,Trichuris suis dan Eimeria sp. tergolong dalam kategori infeksi ringan.


Saran


 Peternak perlu menjaga sanitasi kandang agar derajat infeksi endopareasit tidak meningkat. Memberikan koksidiostat pada babi sangat disarankan untuk mencegah dan mengobati infeksi Eimeria sp. pada babi. Pemberian koksidiostat dan anthelmintika dilakukan secara periodik setiap 6 bulan sekali. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang dapat mengidentifikasi spesies Eimeria sp. yang menginfeksi babi betina induk di Kabupaten Tabanan.





DAFTAR PUSTAKA  



Agustina KK. 2013. Identifikasi dan Prevalensi Cacing Tipe Strongyle pada Babi di Bali. Buletin Veteriner Udayana. 5(2): 131-138. Agustina KK, Sudewi NMAA, Dharmayudha AAGO, Oka IBM. 2016. Identifikasi dan Prevalensi Infeksi Protozoa Saluran Cerna Anak Babi yang Dijual di Pasar Tradisional di Wilayah Provinsi Bali. Buletin Veteriner Udayana. 8(1): 17-24.   Ballweber LR. 2016. Ascaris suum in Pig. Veterinary Manual [Internet]. [diunduh 2017 Juli 17]. Tersedia pada: http://www.merckvetmanual.com/digestivesystem/gastrointestinal-parasites-of-pigs/ascaris-suum-in-pigs. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Populasi Ternak Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Ternak di Bali Tahun 2013. Bali(ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Populasi Babi Menurut Provinsi, 2009-2016. Jakarta(ID): BPS. Dewi K, Nugraha RTP. 2007. Endoparasit pada Tinja Babi Kutil (Sus verrucosus) dan Prevalensinya yang Berada di Kebun Binatang Surabaya. Zoo Indonesia. 16(1): 13–19.  Doviansyah Z. 2015. Prevalensi Koksidiosis dan Identifikasi Ookista Eimeria spp. pada Sapi Perah di Kawasan Usaha Ternak (KUNAK) Kabupaten Bogor[Skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.   Elliott DE. 2015. Nematoda-Whipworm Intestinal Infections by Parasitic Worms[Internet]. [diunduh 2017 Juli 17]. Tersedia pada: https://clinicalgate.com/intestinal-infections-by-parasitic-worms/. Fendriyanto A, Dwinata IM, Oka IBM, Agustina KK. 2015. Identifikasi dan Prevalensi Cacing Nematoda pada Saluran Pencernaan Anak Babi di Bali. Indonesia Medicus Veterinus. 4(5): 465-473.  Firmansyah N. 2016. Prevalensi Koksidiosis pada Sapi Perah di KPBS Pengalengan Bandung[Skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitology Reference Manual 5th Edition. Iowa(USA): Iowa State University Press Inriani N. 2015. Identifikasi Cacing Nematoda pada Saluran Pencernaan Babi di Makasar[Skripsi]. Makasar(ID): Universitas Hasanuddin. Johnstone C. 2000. Ascaris suum Parasites and Parasitic Diseases of Domestic Animals[Internet]. [diunduh 2017 Juli 14]. Tersedia pada: http://cal.vet.upenn.edu/projects/merial/Ascarids/Asc_14a.html. Komala D. 2015. Identifikasi Endoparasit pada Babi (Sus spp.) di Rumah Potong Hewan Kapuk Jakarta Barat[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Koesdarto S, Listina A, Mulyatno KC. 2011. Peran Tanah Sebagai Transmiter Helmintiasis Disekitar Pemukinan Babi Rusa ( Babyrousa babyrussa). Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan. 4(1): 53-56.  Kurniawan AP. 2014. Prevalensi Cacing Gastrointestinal pada Babi Periode Pertumbuhan di CV. Adhi Farm Karanganyar, Solo, Jawa Tengah[Tugas Akhir]. Yogyakarta(ID): Universitas Gadjah Mada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh esai tentang fenomena sosial "GENERASI MICIN KIDS JAMAN NOW"

Contoh Naskah Drama "Kisah Mahasiswa Sukses"